Hangatnya, biar begitu, tetap terasa. Bokep Jepang Napasnya tersengal. Ah sialan. Mengapa kancing baju cuma tujuh?Hah, aku ada ide: toh masih ada kancing di bagian lengan, kalau belum cukup kancing Bapak-bapak di sebelahku juga bisa. Ia tidak melanjutkan kalimatnya.Aku tersenyum. Semua orang bebas masuk asal punya uang. Aku mengurungkan niatku. Hanya suara kebetan majalah yang kubuka cepat yang terdengar selebihnya musik lembut yang mengalun dari speaker yang ditanam di langit-langit ruangan.Langkah sepatu hak tinggi terdengar, pletak-pletok-pletok. Lha wong Mbak Wien menutupi wajahnya begitu. Aku masih termangu. Tapi eh.., seorang penumpang pakai kaos oblong, mati aku. Astaga. Ia menikmati, tangannya mengocok Junior.“Besar ya..?” ujarnya.Aku makin bersemangat, makin membara, makin terbakar. Haruskah kujawab sapaan itu? Dingin. Aku kira aku sudah terlambat untuk bisa satu angkot dengannya. Creambath? Aku duduk di tepi dipan. Baru saja aku memasang ikat pinggang, Wien menghampiriku sambil berkata, “Telepon aku ya..!”Ia menyerahkan nomor telepon di atas kertas putih yang disobek sekenanya. suara itu lagi, suara




















